Mengkombinasikan Pengobatan Tradisional dan Modern
Mendengar kata “pengobatan tradisional” dalam benak kita mengkin langsung terbayang pengobatan herbal, pengobatan menggunakan bahan murni dan alami serta menggunakan prinsip “back to nature”. Walaupun sekarang pengobatan tradisional sudah dikombinasikan dengan teknologi modern misalnya:
-Jamu dalam bentuk kapsul atau sachet yang praktis dan pengolahan modern
-Alat-alat akupuntur dengan alat-alat modern dan jarum steril
-Alat-alat bekam dengan alat sedot modern dan lancet steril
Pengobatan dengan prinsip “back to nature” kembali marak akhir-akhir ini. Pengobatan dengan herbal dan thibbun nabawi menjadi sering kita dengar di media masa, dunia maya, seminar-seminar dan dilakukan oleh praktisi. Alhamdulillah, hal ini merupakan kebaikan, karena berobat dengan herbal dan thibbun nabawi yang alami dan diramu oleh ahlinya dengan cara yang benar . Bagi orang Indonesia maka berpotensi memajukan herbal dan ramuan alami indonesia sehingga bisa diakui oleh dunia dan bagi umat Islam bisa mengenalkan metode pengobatan thibbun nabawi kepada dunia internasional.
DOKTER, AHLI HERBAL, AHLI THIBBUN NABAWI SAMA BAIKNYA ASALKAN AHLI, BERILMU DAN BERPENGALAMAN
Sebagian orang bingung ketika berobat, ada yang menyarankan ke dokter atau ke ahli herbal atau harus ngotot pakai thibun nabawi. Kebingungan bertambah ketika ada berita kalau ke dokter nanti dikasi obat kimia yang berbahaya, belum lagi metodenya kebanyakan dari orang barat sedangkan kita orang timur. Atau bagi kaum muslim yang anti dengan dunia Barat. Padahal ajaran Islam mengajarkan agar berlaku adil terhadap siapapun bermuamalah yang baik dengan siapapun termasuk orang non-muslim.
Begitu juga dengan herbal, ada info nanti herbalnya palsu, tidak terstandar, dicampur “obat dewa” kortikosteroid, dan bisa jadi ahli herbalnya jadi-jadian, baru pelatihan satu dua kali udah buka praktek, apa ada pengalaman mendiagnosis? Begitu juga dengan info thibbun nabawi. Bisa jadi orangnya belum menguasai penuh, apalagi harus ada unsur keimanan baru sembuh, misalnya hanya baca Al-Fatihah bisa sembuh dari kalajengking. Belum lagi sebagian kecil kalangan yang tidak bertanggung jawab memasukkan semua metode ke dalam thibbun nabawi, padahal itu bukan thibbun nabawi (misalnya ramuan tertentu).
Jadi pilih yang mana? Ke mana kita harus berobat
Semuanya baik asalkan Ahli, Berilmu dan Berpengalaman
Dokter, ahli herbal dan ahli thibbun nawabi sama baiknya asalkan pengobatan dilakukan oleh ahlinya. Untuk dokter, maka mereka sudah ada pendidikan resmi, bertahap dan diterapkan di semua negara dengan standar yang hampir sama. Mereka sudah belajar dan diuji apakah sudah layak untuk melakukan pengobatan atau tidak.
Sedangkan untuk herbalis, sampai sekarang belum ada resmi dan diakui oleh pemerintah, misalnya sekolah herbal atau perguruan tinggi dengan jurusan herbal. Dengan kurikulum terstandar dan teruji. Inilah yang membuat herbal agak kurang diminati oleh orang. Akan tetapi cukup banyak kita temukan herbalis yang benar-benar pengalaman, sudah belajar dengan waktu yang cukup lama walapun tidak formal dan sudah berpengalaman. Untuk herbalis seperti ini, baik juga untuk pengobatan, bahkan ada metode pengobatan yang belum ditemukan dalam kedokteran modern ternyata ada metode pengobatannya oleh herbalis terpercaya. Begitu juga dengan ahli thibbun nabawi.
Dalam agama Islam, praktek kedokteran harus dilakukan oleh ahlinya dan sudah berpengalaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”[1]
Managemen terapi harus sesuai dosis dan indikasi
Demikian juga dengan obat yang digunakan, haruslah seorang dokter atau herbalis tahu benar obat dan herbal tersebut, bagaimana indikasinya, untuk penyakit apa (tentunya ia harus mampu mendiagnosis), tahu campurannya, tahu efek sampingnya dan sebagainya
Dalam kedokteran barat modern dikenal ungkapan,
“ All substances are poison. There is none that is not poison, the right dose and indication deferentiate a poison and a remedy”
“semua zat adalah (berpotensi menjadi) racun. Tidak ada yang tidak(berpotensi menjadi) racun. Dosis dan indikasi yang tepat membedakannya apakah ia racun atau obat”
(toksikologi hal. 4, Bag Farmakologi dan Toksikologi UGM, 2006)
Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,
فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر
“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[2]
KEDOKTERAN MODERN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN HERBAL APALAGI THIBBUN NABAWI
Ada sebagian orang yang masih kurang memahami prinsip herbal dan thibbun nabawi. Mereka terlalu kaku dan keras, atau bisa jadi ada kepentingan dunia dan bisnis dibalik hal ini. Mereka salah paham mengenai pengobatan khususnya thibbun nabawi dan kedokteran barat modern. Kesalahpahaman tersebut berdampak timbul angapan bahwa kedokteran barat modern bertentangan semua dengan thibbun nabawi, sikap anti total terhadap pengobatan barat modern, kemudian jika memilih pengobatan selain thibbun nabawi berarti tidak cinta kepada sunnah serta dipertanyakan keislamannya. Padahal kedokteran barat modern bisa dikombinasikan dengan thibbun nabawi atau dipakai bersamaan. Dan juga ada beberapa tulisan-tulisan mengenai hal ini yang menyebar melalui dunia nyata dan dunia maya.
Beberapa kesalahpahaman mengenai kedokteran modern
- Berasal dari orang barat dan non-muslim sedangkan kita orang timur
- Menggunakan bahan kimia yang Hanya berbahaya bagi tubuh
- Jika tidak menggunakan pengobatan nabawi berarti tidak memilih pengobatan nabawi dan tidak mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaii wa sallam.
Berikut contoh kasus yang kami temui langsung
Contoh pertama:
Seorang kenalan kami, ia sudah terkena demam cukup tinggi selama tiga hari, di tambah batuk dan pilek. Tetapi beliau tidak mau mengkonsumsi obat-obat kimia dari kedokteran barat, apalagi konsultasi ke dokter. Beliau hanya mengkomsumsi madu dan habbatus sauda selama sakit, akan tetapi ia belum sembuh juga, kemudian seseorang memberi masukan agar ia berobat ke dokter. Saya (penulis) juga sempat berdiskusi dengan beliau, saya berkata, mengapa tidak dikombinasi saja pengobatannya minum obat kedokteran barat dengan minum madu dan habbatus sauda. Karena demam tinggi jika tidak diobati akan berdampak cukup serius bagi tubuh. Dengan mengkonsumsi obat penurun panas sederhana seperti paracetamol maka demam tubuh bisa turun dan kondisi tubuh bisa lebih stabil untuk melakukan upaya peyembuhan sendiri melalui imunitas tubuh.
Contoh kedua:
Ada seseorang yang berkata kepada saya (penulis) ketika membicarakan tentang diare, ia mengatakan jika seorang anak diare, tidak perlu dibawa ke dokter, cukup diberi campuran air minum plus madu maka diarenya bisa sembuh. Ia membuktikan bahwa anaknya sembuh dengan terapi tersebut. Kemudian ia berkata, jika di bawa ke dokter nanti malah di infus seperti anak temannya, anaknya kesakitan disuntik infus kemudian butuh biaya juga buat infus.
Menngenai hal ini saya ingin menjelaskan bahwa dalam ilmu kedokteran modern, anak diare dan mengalami dehidrasi tidak langsung dipasang infus akan tetapi diterapi sesuai dengan tingkat dehidrasinya. Dalam kedokteran modern dehidrasi diare ada tiga derajat berdasarkan gejalanya:
1 . tanpa dehidrasi (kehilangan cairan <5% Berat badan)
- dehidrasi ringan sedang (kehilangan cairan 5%-10% Berat badan)
- dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% Berat badan)
(lihat Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak hal. 50, IDAI, 2004)
Untuk terapinya, diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan sedang diterapi dengan cairan oral, yaitu diberi minum seperti biasa (jika masih bisa minum) dengan menggunakan ukuran tertentu khususnya setelah diare dan muntah. Dan terapi dengan air minum plus madu adalah terapi yang tepat dalam kasus ini.
Akan tetapi pada kasus dehidrasi berat pada anak, terlebih lagi jika anak muntah-muntah dan tidak bisa minum karena pengaruh penyakitnya maka jalan terakhir adalah penggantian cairan melalui infus. Karena dehidrasi berat pada anak cukup berbahaya jika dibiarkan lama, bisa menyebabkan kematian, terlebih lagi pada anak yang umurnya masih beberapa bulan.
Maka yang perlu kami sorot dalam kasus ini adalah, sikap anti total terhadap kedokteran barat modern dan seolah-olah kedokteran barat itu bertentangan semuanya dengan thibbun nabawi.
Memperbaiki kesalahpahaman
Kami mencoba memperbaiki kesalahpahaman tersebut dengan beberapa uraian
1.Kedokteran modern berasal dari barat dan non-muslim
Sebagian orang salah paham, bahwa yang namanya orang/budaya timur dan orang/budaya barat tidak bisa bertemu secara mutlak. Bagi orang Islam, sebagian kecil salah paham beranggapan secara mutlak orang barat yang non-muslim meinginkan kehancuran bagi orang timur dan tidak ingin orang timur berkembang apalagi umat islam dan ada makar ingin menggantikan pengobatan timur dan nabawi pada umat islam dengan kedokteran modern yang merupakan monopoli mereka. Hal ini tidak tepat dan jauh dari kenyataan
Kedokteran modern sangat menghargai semua metode pengobatan. Prinsip kedokteran modern adalah asalkan pengobatan dan terapi tersebut sudah dibuktikan secara ilmiah, maka diterima bahkan direkomendasikan oleh pengobatan modern. Contohnya adalah akupuntur, sekarang sudah diakui oleh kedokteran modern dan bahkan sudah banyak penelitian dan jurnal imiahnya. Rumah sakit sudah mulai ada poli akupuntur dan dokter juga ada yang menarik minat ke sana.
Perlu diketahui juga bahwa kedokteran barat modern yang sekarang merupakan pegembangan dari kedokteran yang dahulunya dikembangkan dan ditemukan oleh orang Islam dan para tabib cendikiawan muslim yaitu disaat Islam mencapai puncak kejayaannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan di saat itu seperti kejayaan saat dinasti Abbasiyah. Tehnik pengobatan yang dkembangkan oleh tabib cendikiawan muslim bahkan hampir dipakai di seluruh dunia. Dan banyak dokter dan tabib dari negara lain yang datang belajar kepada tabib muslim saat itu.
Kita bisa membaca sejarah bagaimana tabib cendikiawan muslim dahulunya dengan kitab-kitab pedoman kedokteran karangan mereka dan buku-buku mereka bahkan ada yang menjadi pegangan kedokteran barat sampai saat ini. Sebutlah tabib muslim seperti Muhammad bin Zakaria Al-Razi di barat dikenal dengan Razes, ahli bedah Al-Zahrawi dikenal dengan Abulcasis, Ibnu Rusdy atau Averroes, Ibnu El-Nafis, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan masih banyak yang lainnya.
Kemudian walaupun pengembangan selanjutnya dilakukan oleh ilmuan barat maka kita tidak semata-mata langsung berpikiran negatif dan tidak berlaku adil kepada mereka. Jika memang ilmu kedokteran tersebut bermanfaat dan benar maka kita perlu juga mempelajarinya dan bisa menggunakannya. Sebagaimana fasilitas saat ini seperti mobil, kereta, pesawat dan alat-alat elektronik lainnya. Kita tetap harus adil dalam menyikapi hal ini.
2.Menggunakan bahan kimia yang HANYA berbahaya bagi tubuh
Memang obat-obat kedokteran barat modern menggunakan bahan kimia. Tetapi bahan kimia yang digunakan sudah diteliti dan sudah diatur dosisnya agar sesuai dengan terapi yang diinginkan. Ini juga berlaku pada beberapa obat-obat alami/ herbal dan thibbun nabawi, jika dosis habbatus sauda berlebihan dikonsumsi maka akan berefek negatif bagi tubuh karena habbatus sauda mengandung bahan aktif seperti thymoquinone (TQ), dithymouinone (DTQ), thymohydroquimone (THQ) dan thymol (THY).
Dalam kedokteran barat modern dikenal ungkapan,
“ All substances are poison. There is none that is not poison, the right dose and indication deferentiate a poison and a remedy”
“Semua zat adalah (berpotensi menjadi) racun. Tidak ada yang tidak(berpotensi menjadi) racun. Dosis dan indikasi yang tepat membedakannya apakah ia racun atau obat”
(toksikologi hal. 4, Bag Farmakologi dan Toksikologi UGM, 2006)
Oleh karena itu, kedokteran modern barat dalam teorinya tidak gegabah begitu saja dalam memberikan terapi obat-obatan kimia. Tetapi sesuai dengan dosis dan indikasi pengobatan. Jika penyakit dibiarkan dan lebih berbahaya, maka lebih baik memkonsumsi obat bahan kimia tetapi bisa menyembuhkan dengan dosis yang tepat. Begitu juga dengan operasi pembedahan, dilakukan sesuatu yang berbahaya bagi tubuh “merusaknya” dengan menyayat dan membelah, tetapi ini untuk kesembuhan.
Jika kita kembali ke pengertian zat kimia, zat kimia itu ada yang alami dan ada yang buatan. Obat-obatan pada kedokteran modern juga ada yang menggunakan bahan kimia alami. Begitu juga dengan bahan thibbun nabawi seperti habbatus sauda juga mengandung zat kimia aktif seperti thymoquinone (TQ), dithymouinone (DTQ), thymohydroquimone (THQ) dan thymol (THY) yang merupakan zat aktif. Zat kimia aktif bisa lebih berbahaya jika mencapai dosis tertentu. Sehingga perlu juga dilakukan penelitian mengenai dosis dan indikasinya atau pengobatan dengan habbatus sauda di lakukan oleh ahlinya yang tahu metode pengobatan dan berpengalaman. Kita percaya benar bahwa habbatus sauda adalah obat segala penyakit, tetapi orang yang meramu dan melakukan pengobatannya juga harus ahli. Sebagaimana pedang yang sangat tajam, tetapi untuk berfungsi dengan baik saat peperangan misalnya perlu tangan terlatih yang menggunakannya.
Contohnya juga istilah alkohol, semua orang yang pernah belajar kimia pasti tahu bahwa alkohol adalah nama suatu gugus. Alkohol ada macam-macam juga, misalnya alkohol untuk disinfektan (alkohol 90%), kalau diminum bukannya memabukkan tetapi malah mengancam jiwa.
3.Jika tidak menggunakan pengobatan nabawi berarti tidak memilih pengobatan nabawi dan tidak mengikuti sunnah
Ini adalah pandangan kaku sebagian kecil saudara kita, perlu diketahui hukum asal berobat adalah mubah karena ini adalah masalah dunia dan tidak berkaitan dengan ibadah.
Oleh karena itu seseorang boleh berobat dengan thibbun nabawi, boleh juga tidak dan jika ia tidak menggunakan thibbun nabawi ia tidak berdosa dan tidak tercela. Ia menjadi tercela jika tidak beriman dan tidak percaya keutamaan thibbun nabawi. Misalnya tidak percaya, bahwa air zam-zam itu khasiatnya sesuai hajat peminumnya, tidak percaya bahwa madu itu penyembuh bagi manusia (syifaa’un linnaas). Tidak percaya bahwa habbatus sauda adalah obat segala penyakit dan lain-lain. Karena dalil-dalil tersebut sahih.
@Laboratorium Klinik RSUP DR. Sardjito,Yogyakarta tercinta
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan follow twitter
[1] HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang lain, hadits hasan no. 54 kitab Bahjah Qulub Al-Abrar
[2] Fathul Baari 10/169-170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah
Artikel asli: https://muslimafiyah.com/mengkombinasikan-pengobatan-tradisional-dan-modern.html